Kedatangan MUSO
Tahun 1948 merupakan tahun perjuangan terberat
bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaannya. Kesatuan dan persatuan yang
sangat diperlukan menghadapi Belanda mendapatkan tikaman dari belakang.
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun September 1948
dilancarkan ketika Indonesia sedang bersiap menghadapi agresi Belanda yang
bermaksud menguasai daerah RI yang masih tersisa di Jawa dan Sumatera.
Persetujuan Renville 17 Januari 1948 memicu krisis
politik. PM Amir Syarifudin dan kabinetnya dianggap tidak becus. Pada 23
Januari 1948, Presiden Soekarno membubarkan kabinet dan menunjuk Wakil Presiden
Mohammad Hatta membentuk kabinet. Sayap kiri membentuk Front Demokrasi Rakyat
(FDR) dan Amir Syarifudin dipilih menjadi ketuanya. FDR yang beroposisi terhadap
pemerintah Hatta antara lain menuntut politik berunding dihentikan sampai
Belanda menarik diri secara keseluruhan dari Indonesia.
Di tahun 1948 itu, Angkatan Perang RI (dan pegawai
negeri) melakukan Reorganisasi dan Rasionalisasi (ReRa). Kebijakan yang
digariskan Kabinet Hatta adalah menyusun tentara yang lebih efisien dan berada
di bawah satu komando, dan menjadikannya alat negara yang tangguh terhadap
agitasi politik dari luar. Hatta ingin memotong garis politik kelompok FDR.
ReRa Angkatan Perang berhasil memperkecil jumlah TNI, dari tujuh divisi menjadi
empat, tapi daya tempurnya lebih baik.
Perang Gerilya Semesta
Dengan ReRa ini, TNI-Masyarakat yang dibangun Amir
Syarifudin ketika ia masih menjabat Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri,
dibubarkan. TNI-Masyarakat ini merupakan tandingan bagi TNI yang semula hanya
merupakan Biro Perjuangan di Kementerian Pertahanan. Biro ini dan
TNI-Masyarakatnya didominasi perwira-perwira yang berhaluan komunis.
Kesatuan-kesatuan yang dipengaruhinya dan sempat dilengkapi persenjataan
terbaik ini diharapkan menjadi andalan kekuasaan politik sayap kiri itu.
Setelah dibubarkan pada 29 Mei 1948, kesatuan ex TNI-Masyarakat dilebur ke
dalam Divisi-Divisi TNI, pada Kesatuan Reserve Umum (KRU), sebagai kekuatan
cadangan strategis RI.
Rekonstruksi juga diadakan dengan peran strategis
TNI untuk menghadapi agresi militer Belanda. Strateginya diubah, tidak lagi
menggunakan konsep perang yang lama. Konsep lama yang konvensional menjadikan
pengalaman pahit bagi TNI yang dipukul telak oleh Belanda. Dengan konsep yang
baru, serangan musuh tidak akan lagi dihadapi langsung secara mati-matian.
Perlawanan awal TNI dilakukan sebagai penghambat
guna memberi peluang induk kekuatan TNI dan unsur-unsur pemerintah melakukan
persiapan di daerah perlawanan-wehrkreise untuk melancarkan perang wilayah.
Akan digelar perang gerilya semesta di seluruh pulau Jawa dan di wilayah yang
luas di Sumatera untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Divisi Siliwangi
ditugaskan melancarkan infiltrasi jarak jauh kembali ke daerah juang asalnya,
berperang gerilya bersama rakyat.
Muso Datang
Pada 11 Augustus 1948, Muso, tokoh komunis Indonesia
pulang dari Moskow. Dalam pertemuan 13 Agustus 1948 dengan Presiden Soekarno,
ketika kepadanya diminta untuk memperkuat perjuangan revolusi, Muso menjawab
dengan singkat: Saya datang untuk menertibkan keadaan. Ternyata, yang
dimaksudkannya untuk kepentingan FDR/PKI.
Kehadiran Muso mempunyai arti politis bagi gerakan
komunis di Indonesia. Ia membawa “garis komunis internasional ortodoks“ ialah
garis keras Zhadanov. Di tahun 1947, gerakan komunis internasional (Komintern)
berubah haluan dan menempuh garis keras. Garis lunak Dimitrov yang dilakoni
sejak 1935 yaitu bekerja sama dengan kapitalis untuk melawan fasisme sudah
dikesampingkan.Komintern diubah namanya menjadi Kominform (komunis reformasi).
Angin perubahan dari Moskow ini yang dibawa Muso ke Indonesia. Ia ingin
merombak organisasi yang dinilainya kurang revolusioner dan radikal. Dalam
konferensi PKI pada 26-27 Augustus 1948, ia mengungkapkan garis Kominform yang
telah berubah seraya mengajukan rencana-rencana baru yang dituangkannya di
thesisnya: ”Jalan Baru untuk Republik Indonesia”.
Reformasi sosial yang dianjurkan tidak jauh berbeda
dengan apa yang telah dicanangkan FDR. Platform baru Muso adalah; ”harusnya
perjuangan anti-imperialis Indonesia bersatu dengan Soviet Unie yang memelopori
perjuangan melawan blok imperialis pimpinan Amerika Serikat”. Ia juga mendesak
PKI, Partai Buruh terbesar, memegang pimpinan revolusi nasional.
Pada 31 Agustus 1948 PKI membuat perubahan drastis.
FDR dibubarkan. Partai Buruh dan Partai Sosialis berfusi ke PKI. Disusun Polit
Biro baru, Muso menjadi salah satu Sekjen. PKI yang semula beranggotakan 3.000
orang, menjadi 30 ribu orang. Organisasi massa (ormas) PKI kemudian
merencanakan kongres koreksi dan merancang trace baru, jalur radikal dan keras.
Tanggal 13 September pecah peristiwa Solo, yakni
tawuran antara pasukan Siliwangi (kesatuan reserve umum TNI) dengan pasukan TNI
setempat dari Komando Pertempuran Panembahan Senopati yang telah diinfiltrasi
FDR/PKI. Dalam rencana FDR/ PKI yang tertuang dalam dokumen “Menginjak
Perjuangan Militer Baru”, kota Solo hendak dijadikan ”Wild West”, untuk
menyesatkan perhatian atas rencana militer besar yang sebenarnya. Tetapi
provokasi PKI ini dapat diatasi pasukan-pasukan yang setia kepada pemerintah
Belanda Memperkeruh suasana
Pada 18 September 1948 pagi, Soemarsono selaku
Gubernur Militer (PKI) dan atas nama pemerintah Front Nasional setempat,
memproklamasikan tidak terikat lagi kepada RI pimpinan Soekarno-Hatta, dan
memaklumkan pemerintah Front Nasional. Kekuatan militer PKI untuk melakukan
makar adalah kesatuan-kesatuan Brigade XXIX eks Pesindo, pimpinan Kolonel
Dachlan. Mereka bersenjata lengkap dan berpengalaman tempur.
Dari Madiun PKI menabuh genderang perang menantang RI.
Dari Yogyakarta, pada 19 September jam 22:00, Presiden Soekarno berpidato keras
antara lain: “….. Kemarin pagi Muso mengadakan kup dan mendirikan suatu
pemerintahan Soviet di bawah pimpinan Muso. Perampasan kekua-saan ini dipandang
sebagai permulaan untuk merebut seluruh pemerintahan RI. Ternyata peristiwa
Solo dan Madiun tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan satu rantai-tindakan
untuk merobohkan pemerintah RI”
“…… Bantulah pemerintah, bantulah alat-alat
pemerintah dengan sepenuh tenaga, untuk memberantas semua bentuk pemberontakan
dan mengembalikan pemerintahan yang sah di daerah yang bersangkutan. Rebut
kembali Madiun, Madiun harus segera di tangan kita kembali….”
Pada 20 September 1948 diadakan sidang Dewan Siasat
Militer dipimpin PM/Menteri Pertahanan Hatta. Apabila tidak diadakan tindakan
cepat menumpas PKI, Belanda akan melakukan intervensi. Angkatan Perang harus
secepatnya merebut Madiun kembali. Kolonel A.H. Nasution sebagai kepala staf
Operasi MBAP menyanggupi merebut kembali Madiun dalam waktu dua minggu.
Ancaman Belanda
Tantangan lain yang masih harus dihadapi RI pada
September 1948 adalah ancaman agresi Militer Belanda. Perundingan diplomatik
seusai Renville tidak berjalan lancar. Letjen Spoor, Panglima tentara Belanda
yang meragukan penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda melalui perundingan,
sejak Februari telah merencanakan operasi militernya yang sewaktu-waktu dapat
digerakkan untuk menuntaskan masalah secara militer once for all.
Rencana strategi yang dinilainya berhasil
memenangkan agresi militer pertama (1947) disiapkan lagi, kali ini diberi sandi
: “Operatie Kraai”.
Kekacauan di wilayah RI dan adanya pemberontakan PKI
di Madiun dinilainya peluang strategis untuk melancarkan operasi militer besar:
memadamkan pemberontakan komunis sekalian menamatkan riwayat RI.Bila di
Yogyakarta diadakan sidang Dewan Siasat Militer dipimpin PM Hatta untuk
menumpas pemberontakan PKI-Muso, maka pada tanggal yang sama di Jakarta
diadakan perundingan para pemimpin politik dan militer Belanda, dipimpin wakil
wali negara, Abdulkadir Widjojoatmodjo.Usul Jenderal Spoor untuk mempercepat
agresi militer, disetujui. Diputuskan oleh sidang agar Abdulkadir minta izin kepada
Pemerintah Pusat Belanda, agar diberi kuasa untuk segera bertindak, melancarkan
operasi “Kraai”.
Ternyata Belanda urung melancarkan operasi
militernya. Ini bukan karena Kabinet Belanda tidak merestui, tapi karena kalah
cepat dengan operasi TNI. RRI Yogyakarta menyiarkan Brigade II Siliwangi
dipimpin Letnan Kolonel Sadikin tanggal 30 September 1948 jam 04:00 petang
membebaskan Madiun.Ini berarti kurang dari dua minggu dari rencana operasi yang
bergerak 21 September 1948 itu. Tidak selang lama di Madiun bergabung pula
Brigade S pimpinan Letkol Surahmat dari Komando Tempur Djawa Timur. Operasi
militer selanjutnya membebaskan kabupaten-kabupaten yang dikuasai PKI, yaitu
Ponorogo, Magetan, Pacitan.
Gerakan PKI Dipadamkan
Pada akhir bulan Nopember 1948, seluruh operasi
penumpasan PKI termasuk daerah-daerah sebelah utara Surakarta yaitu Purwodadi,
Cepu, Blora, Pati, Kudus, dan lain-lain, selesai. Gerakan PKI dipadamkan dalam
tempo 65 hari.
TNI melaksanakan konsolidasi, mempersiapkan diri
menghadapi agresi Belanda. Sejarah mencatat, TNI tidak punya cukup waktu untuk
melakukan konsolidasi dan mempersiapkan diri menghadapi agresi militer Belanda.
Tanggal 19 Desember 1948, Belanda kembali
melancarkan agresi militer. Kali ini serangan kilat ditujukan langsung ke Ibu Kota
RI Yogyakarta. Dalam waktu singkat Belanda menduduki kota-kota penting yang
masih tersisa di wilayah RI. Pimpinan-pimpinan politik RI ditawan, tetapi
mereka tidak berhasil menangkap pimpinan TNI.
TNI tetap utuh dan tidak bisa dihancurkan, karena
pasukan TNI segera menyebar di daerah-daerah pengunduran yang luas (sesuai
rencana strategi pertahanan yang telah digariskan dalam perintah siasat
Panglima Sudirman). Belanda memaksa TNI melakukan perlawanan gerilya, suatu
cara peperangan yang sangat sesuai bagi TNI.
Bila Belanda melancarkan strategi perangnya untuk
menghancurkan, dengan tujuan untuk meniadakan/memusnahkan RI, yang dalam
istilah Carl von Clausewitch Niederwerfungs-strategie, maka ia dihadapi oleh
TNI dengan perang gerilya/bersama rakyat, yang berjangka waktu panjang dan
menjemukan, yang menurut teori Hans Delbruck sebagai Ermattungskrieg.Belanda
diganggu terus menerus oleh pertempuran hit and run, dan diselingi perang
diplomasi, yang menekan syaraf dan melelahkan.
Kamis, 25 September 2014
0 komentar: